petajatim.co, Surabaya – Berbagai elemen masyarakat Surabaya dan sekitarnya turun ke jalan untuk menghelat Aksi Jeda Untuk Iklim. Aksi ini bagian dari aksi Climate Strike sedunia yang menuntut dideklarasikannya status darurat iklim dan dilakukannya aksi nyata untuk mengatasi kegentingan ini. Aksi ini akan dilakukan pada 20 September 2019, tepat 3 hari menjelang Pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim di New York.
“Krisis iklim merupakan isu global melampaui identitas, kepentingan pribadi, dan batas-batas administratif wilayah/negara. Ini berkaitan dengan kondisi satu-satunya bumi yang kita huni bersama, sebab itu butuh penanganan sinergis secara global”, ujar Lyly Freshty, anggota Komunitas Homeschooler Peduli Iklim.
Ujaran senada ditambahkan oleh Alvin, Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Institut Sepuluh Nopember Surabaya, “11 tahun lagi, bumi kita akan mencapai climate tipping point (titik di mana segala sesuatu sudah tidak bisa diperbaiki lagi). Bila kenaikan suhu 1,5 derajat celcius tidak bisa ditahan lajunya dalam 11 tahun ini, maka ke depan tidak akan bisa dikendalikan lagi. Dampak pahit ini akan dirasakan terutama oleh generasi saya dan generasi setelah kita nantinya,” papar Alvin.
Maiza Aisyah, 11 Tahun, salah satu pelajar homeschooling yang ikut aksi bersama kedua orang tuanya, berangkat pagi tadi dari rumahnya di Probolinggo, mengatakan “Aku pernah nonton video-nya Greta (Greta Thunberg), pelajar dari Swedia yang tiap Jumat bolos sekolah untuk aksi demo soal lingkungan, jadi sedih sekali melihat teman-teman masih banyak buang sampah sembarangan. Aku ingin teman-teman semua lebih peduli pada lingkungan “ .
Bergabung bersama elemen pemuda, mahasiswa dan pelajar sekolah, juga para pekerja yang mengambil ‘cuti’ untuk turun ke jalan mendukung aksi Jeda Untuk Iklim, aksi ini membawa pesan untuk diperhatikan oleh semua pihak.
Sejumlah tuntutan yang disampaikan antara lain, 1. Pemerintah mendengarkan para ilmuwan dan mendeklarasikan darurat iklim. 2. Pemerintah menaikkan ambisi untuk menekan emisi gas rumah kaca dan melaksanakannya secara tegas, konsisten dan segera. 3. Mengajak setiap orang untuk memberikan perhatian lebih pada kedaruratan iklim dan mengambil tindakan segera dalam penyelesaiannya.
Selain itu, peserta aksi juga menyampaikan keprihatinan akan minimnya materi pengajaran tentang krisis ekologis kepada seluruh elemen di sekolah-sekolah.
Kumpulan komunitas dari latar belakang berbeda-beda ini juga ingin mengajak para pemuka agama manapun untuk lebih gencar mengajarkan prinsip-prinsip menghormati lingkungan hidup dan agar publik secara luas menolak praktek-praktek yang menyebabkan polusi udara di sekitar tempat tinggal.
Marhamah, Koordinator Aksi Jeda Untuk Iklim Surabaya, mengatakan bahwa melalui aksi ini, diharapkan masyarakat sadar akan kondisi ‘Darurat Iklim’. Dari kesadaran ini akan memupuk dan makin bersemangat lagi untuk peduli dengan lingkungan.
“Krisis iklim ini adalah keadaan darurat, dan kita ingin agar semua bertindak sebagaimana mestinya. Kita menginginkan keadilan iklim untuk semua.” tegas Marhamah.
“Keadaan ini harus menjadi pembicaraan semua orang karena penyelesaiannya hanya bisa terjadi ketika semua orang bertindak. 11 tahun untuk kita membenahi banyak hal. Resiko sangat besar sedang menghadang, bencana dan kepunahan, kalau kita semua enggan berubah memperbaiki keadaan kritis ini,” tambahnya.
Aksi Jeda untuk Iklim ini tak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga di 15 kota lainnya, yaitu Aceh, Medan, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Bali, Palangkaraya, Palu dan Kupang.
Secara global, aksi mogok untuk iklim ini berlangsung di 150 negara dan diikuti jutaan orang. Aksi ini ditengarai sebagai aksi terbesar yang pernah dilaksanakan di dunia untuk mengatasi krisis iklim. (her)