petajatim.co, Jakarta – Antasari Azhar Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan Perppu KPK tidak bisa dilakukan Presiden Jokowi, karena revisi UU KPK belum ditanda-tangani. Selain itu juga UU KPK hasil revisi belum bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review.
Statemen ini disampaikan Antasari Azhar dalam Diskusi Publik ‘KPK Mau di Bawah Kemana?, Perlukah Presiden Mengeluarkan Perppu KPK?’ yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Nasional Solidaritas Merah Putih. Acara ini bekerja sama dengan Civitas Akademi Universitas Tujuh Belas Agustus (UTA) 45 di Hall Lantai 8 Kampus UTA 45, Sunter, Jakarta Utara, Jum’at (12/10/2019).
“Saya tidak setuju adanya desakan Perppu KPK, sebab UU KPK belum disahkan, Kita tunggu saja 30 hari sejak disahkan. Setelah itu lihat arah kebijakan Presiden Jokowi Kemana,” ujar Antasari yang mantan petinggi Kejakasaan Agung ini.
Kalaupun Presiden Jokowi mau mengeluarkan Perppu hasil revisi UU KPK. Antasari Azhar menyarankan Presiden Jokowi membentuk Tim Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
“Pemerintah melalui Tim DIM bisa mengiventarisasi mana yang tidak pas dan mana yang perlu dipertahankan pasal-pasal di UU KPK hasil revisi,” sarannya.
Antasari Azhar sendiri menyatakan mendukung revisi UU KPK. Sebab katanya secara kelembagaan KPK perlu penguatan dan peningkatan kinerja yang lebih profesional.
“Dewan Pengawas KPK dibutuhkannya agar pengawasan atas kewenangan penyadapan. Status ASN pegawai yang direkrut KPK harus diperjelas statusnya dan pegawai yang ASN sudah jelas. Selanjutnya batasan 2 tahun SP3 agar ada kepastian hukum dan setiap ada penyadapan harus ada pengawasan agar hasil penyadapan terontrol dan tidak disalahgunakan,” jelasnya.
Perppu UU KPK Tidak Diperlukan, Cukup Lewat Jalur MK
Sementara itu Adian Napitupulu anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Perppu UU KPK hasil revisi tidak diperlukan. Kenapa tidak perlu? kata Mantan Aktivis 98 ini, Jika tidak puas dengan hasil revisi UU KPK bisa menempuh mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)
“Setelah UU KPK ini berlaku para akademisi, Mahasiswa atau organisasi manapun bisa mengajukan judicial review ke MK. Silahkan berdebat dan ajukan alasan-alasan rasional serta keluarkan pakar-pakar atau akademisi terbaik dari perguruan tinggi,” tantang Adian.
Kata Adian, sebuah Perppu bisa dikeluaran seorang Presiden Jokowi apabila dalam keadaan genting dan memaksa. Sedangkan situasi saat ini dalam keadaan pengkondisian kegentingan dan memaksa.
“Apakah mau setiap bikin UU kalau tidak setuju selalu lewat Perppu. Hal ini tidak baik padahal sudah ada mekanisme hukum lewat MK,” tegas Adian.
Apalagi kata Adian, kecenderungannya kalaupun dikeluarkan Perppu UU KPK hasil revisi, dimungkinkan akan ditolak oleh DPR RI. Sehingga, akan kembali kepada UU KPK hasil revisi bukan UU sebelumnya.
“Apa mau demo memaksa lagi, Perppu lagi. Kan tidak begitu caranya. Ya harus lewat MK dong. Selain itu akan banyak UU yang akan terbengkalai kalau terus-terusan begini,” terang Adian dengan lugas.
Berbeda dengan orde baru kata Adian, dahulu tidak ada MK, sehingga 5 Paket UU Politik yang dikeluarkan tidak bisa digugat. Katanya, saat ini ada mekanismenya, kalau tidak setuju pada hasil UU yang dibuat DPR dan Pemerintah.
“Seorang satpam saja pernah menggugat dan menang di MK. Masak para intelektual, akademisi dan mahasiswa tidak mau lewat jalur MK,” tukasnya.
Menurutnya, KPK perlu diawasi dalam hal penyadapan, harus ada pertanggungjawaban kepada publik setiap hasil penyadapan. Kapan harus dimusnahkan, kapan disimpan dan kapan dijadikan alat petunjuk penyidikan dan saat di pengadilan.
“Jangan sampai kewenangan penyadapan yang berlebihan melanggar HAM orang yang disadap. Semuanya harus diawasi Dan dipertanggungjawabkan kepada publik,” pungkas Adian.
Dalam acara Diskusi Publik juga hadir pembicara Rudi S Kamri pengiat Sosial Media/Pemerhati Sosial Politik, Suherman Hadikuntono Pengamat Intelejen, Bambang Sulistomo Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan Rudyono Darsono Dewan Pembina UTA 45.
(jok)