Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Penasehat Hukum Leny Hardiyati)
“Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan, jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.” (Jalaluddin Rumi).
SAMBO adalah ujian berat Polri Presisi. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa mengingatkan bahwa Citra polisi dipertaruhkan dalam kasus Ferdy Sambo.
Kerja keras dan cita-cita Kapolri untuk transformasi Polri Presisi hampir terjerembab ke tubir balkanisasi. Wajah Polri mendadak angker.
Menyebut kata polisi, wajah Sambo yang tergambar. Selain bayang-bayang unlawfull killing empat laskar FPI di tol KM50 Jakarta-Cikampek.
Polri Presisi adalah abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan. Cukup ideal, jargonik dan progresif.
Bahkan, untuk kepentingan Polri yang berkeadilan, Polri bangga dengan cara baru penyelesaian perkara lewat pencapaian keadilan restoratif (restorative justice).
Menurut Kabareskrim Polri Komjend. Agus Andrianto menyatakan, sepanjang 2021 hingga Maret 2022, Polri menyelesaikan 15.039 perkara dengan restorative justice. Jumlah itu meningkat 28,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus.
Polri berusaha keras mengenalkan dan menerapkan paradigma baru, tapi dirusak oleh segelintir orang, termasuk oleh Polri yang ada di daerah-daerah.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Adies Kadir menyoroti perilaku dan gaya hidup Polri masa kini.
Katanya, “jajaran Kapolri ke bawah sudah seperti “Raja-Raja Kecil” di daerah masing-masing.”
Pada awalnya, saya kira jajaran Polri paham idealisme Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Saya kira Polres-Polres tahu cara menerapkan transformasi Polri Presisi.
Namun, ternyata banyak pimpinan Polri di daerah yang belum siap bertransformasi, tidak menghayati tagline Polri Presisi, termasuk Polres Sumenep.
Kompol Soekris, Wajah Polri Gaya Orba
Mengapa saya bilang Polres Sumenep belum siap bertransformasi dan gagal menghayati cita-cita Polri Presisi?
Kita lihat dari contoh kecil, yaitu cara Kompol Soekris Trihartono, S.Sos., Wakapolres Sumenep menyelesaikan perselisihan Polri perihal aset Rumah Dinas Kapolsek Lenteng dengan warga keturunan Tionghoa di Desa Lenteng Timur yang patut diduga menjadi korban “mafia tanah”.
Polri melalui Kompol Soekris, mengaku memiliki aset yang dikuasai oleh ahli waris almarhum Dariyanto. Alas hak yang dimiliki Polri adalah Berita Acara Serah Terima, bukan sertipikat.
Sementara, aset yang diklaim Polri itu adalah tanah milik almarhum Dariyanto yang saat ini SHM atas nama Leny Hardiyati, salah satu puteri kandung almarhum Dariyanto.
Peristiwa itu terjadi sejak 1974, ketika masa Orde Baru, dimana warga keturunan Tionghoa marginal dan mencekam. Rawan menjadi korban kekerasan.
Bahkan, dahulu, ketika isteri Dariyanto berusaha hingga dua kali menemui Kapolres Sumenep untuk mencari kepastian hukum, salah satu anggota Polres Sumenep malah berujar: “Sampeyan itu China, jangan macam-macam.” Itu gaya lama, gaya Orde Baru.
Gaya lama Polri ternyata belum berubah hingga zaman Pak Jokowi. Gaya menakuti, ceremonial dan show of force.
Padahal, Polri Presisi melalui Jenderal Sigit, berusaha sekuat tenaga untuk bertransformasi agar Polri lebih humanis, prediktif, responsible, transparan dan berkeadilan.
Polres Sumenep gagal memaknai semangat mengutamakan keadilan restoratif (restorative justice) dalam masalah ini.
Ketika saya minta agar Polri menunjukkan alas hak dan ahli waris Dariyanto siap menunjukkan seluruh alas hak, ternyata Pak Soekris lalu bilang bahwa Polri tidak perlu menunjukkan, kalau tidak terima silahkan lakukan upaya hukum.
Dari belasan anggota polisi yang hadir, tidak ada satupun yang berani membantu Pak Soekris, karena Polri memang tidak punya hak terhadap tanah warga Lenteng Timur itu.
Tapi, dengan kekuasaan yang dominan, melalui Pak Soekris, Polres Sumenep memberi Somasi yang pada pokoknya mengancam pidana ahli waris Dariyanto.
Saya bilang, pidana darimana? Dari Hongkong?
Dari kasus itu, tak ada penghayatan sedikitpun terhadap konsep restorative justice.
Bagi saya, selaku lawyer dari Leny Hardiyati yang punya hak terhadap tanah yang diklaim Polri itu, dengan senang hati untuk melawan lewat mekanisme hukum.
Kami akan gugat Kapolri Cq. Kapolda Jatim Cq. Kapolres Sumenep Cq. Kapolsek Lenteng.
Doakan saja, semoga rakyat menang melawan ke-sewenang-wenangan.
Pak Kapolri, begitulah perilaku bawahan mu di Polres Sumenep. Keadilan restoratif itu ilusi. Yang ada hanya: “membusungkan dada”.
Demi keadilan, kami pasti akan melawan (*).