Oleh : Rizal Hamduddin, A.S (Aktivis Mahasiswa Sampang)
KETIKA saya menginjakkan kaki di Rusunawa Jemundo Sidoarjo, riuh suara burung perkutut menyambut kedatangan kami berdua.
Kebetulan waktu itu saya diajak oleh teman satu kost yang akan melakukan riset dalam penyelesaian tesis pasca sarjananya. Dan ini pertama kalinya saya ke rusunawa Jemundo, meski selama ini sering mendengar berita dan ceritanya.
Rusunawa Jemundo merupakan tempat saudara-saudara kita, para pengungsi Syiah asal Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.
Memasuki halaman Rusunawa Jemundo yang berlantai empat tersebut, tampak balkon yang dipenuhi benda-benda bergelantungan. Seperti, jemuran pakaian, baju dalam, hingga perabotan dapur seperti wajan, panci dan lainnya.
Tembok bangunan terlihat lembab dan mulai rapuh terkikis. Pada sebagian tembok, terlihat bata dan cat tembok yang mulai mengelupas.
Saluran drainase dari kamar toilet yang tidak bagus menimbulkan bau tak sedap. Bahkan, air kamar mandi ada yang melintas di depan kamar pengungsi.
Pengungsi Syiah asal Sampang Madura yang tinggal di rumah susun itu tercatat sebanyak 80 kepala keluarga (KK) dengan total 345 jiwa. Terdiri dari 122 anak, dan 223 orang dewasa.
12 tahun lalu, warga Syiah di dua desa di Sampang diusir dan rumahnya dibakar oleh kelompok anti-Syiah setempat. Satu orang meninggal akibat peristiwa kekerasan tersebut.
Mereka sempat diungsikan selama sembilan bulan di GOR Sampang, sebelum dipindahkan ke rumah susun di Sidoarjo.
Ketika teman mewawancarai salah satu pengungsi, terdengar keluhan atas keterbatasan tempat tinggal. Bersama 7 anaknya, ia menempati satu ruangan yang luasnya sekitar 6 x 6 meter.
Ruangan tersebut disekat menjadi satu ruang kamar tidur, ruang tamu sekaligus dapur dan toilet yang dibuat berdekatan berupa lorong kecil.
Pengungsi tidak bisa seenaknya tinggal, mereka hanya berhak menempati satu ruangan untuk satu KK. Bahkan, ada satu KK yang mempunyai 13 anggota keluarga.
Rata-rata warga yang tinggal di rusunawa tersebut ingin segera bisa kembali tinggal di kampung halaman. Setelah dua belas tahun lamanya hidup di pengungsian tersebut.
Rumah mereka yang sudah tidak ada karena dibakar saat konflik meletus di tahun 2012 dapat dibangun kembali atas bantuan pemerintah.
Hingga di penghujung tahun 2022, mereka diperkenankan pulang kembali ke kampung halaman setelah ikrar bersama. Kesempatan itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
“Waktu itu kami tentu merasa sangat senang sekali karena bisa pulang ke kampung halaman yakni Desa Karang Gayam kecamatan Omben. Apalagi waktu Pak bupati Slamet Junaidi bilang mau dibangunin rumah dan dikasih pekerjaan,” tutur salah satu Penyintas yang usianya sudah separuh baya itu.
Harapan akan menghirup udara kampung halaman semakin terang dan nyata ketika rombongan Bus yang menjemput mereka sudah melewati Jembatan Suramadu menuju Sampang.
Sesampainya di Sampang, puluhan warga kampung yang dulunya memusuhi mereka berdiri menyambut kedatangan rombongan di Pendopo Trunojoyo Sampang.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh puluhan tokoh ulama, pejabat pemerintah daerah hingga Kantor Staf Kepresidenan. Acara seremonial penyambutan dan pembaiatan atau ikrar menjadi Suni berlangsung kurang lebih selama 3 jam.
Tapi, hanya berselang satu jam setelah menginjakkan kaki di kampung halaman, mereka kemudian diangkut paksa untuk kembali ke rusunawa jemundo.
“Saat itu kami heran, katanya pemulangan, tapi kenapa kemudian kami diminta untuk kembali lagi ke Jemundo? Apa maksud dari semua itu. Di mana perasaan para pimpinan Sampang. Kenapa kami seolah-olah seperti dipingpong, suruh pulang kemudian suruh balik lagi ke pengungsian,” ucapnya.
“Ini atas perintah Pak Bupati,” ujarnya menirukan perkataan petugas berseragam staf kecamatan yang kala itu datang menjemput mereka.
Mengingat-ingat peristiwa itu, warga mengaku sedih dan kecewa terhadap pemerintah. Apalagi sampai saat ini janji bantuan pembangunan rumah, janji diberikan pekerjaan dan janji janji lainnya hilang tanpa kejelasan.
Hidup mereka sepeti sengaja ditelantarkan. Tanpa pekerjaan dan tanpa tempat tinggal yang jelas. Sementara, selama hidup di pengungsian mereka harus menanggung biaya hidup, bayar listrik, air PDAM dan semacamnya.
Pengungsi merasa menjadi korban kedua kalinya. Pertama, terusir karena konflik sosial dengan warga setempat dan kedua jadi korban janji-janji pemerintah daerah.
Apakah dibalik upaya penyelesaian konflik Sunni-Syiah Sampang ini sebenarnya tersembunyi kepentingan politik?
Wallahu Alam Bis Showab