petajatim.co, Sampang – Setelah melakukan penyelidikan hingga penyidikan, akhirnya penyidik Polres Sampang menetapkan 2 tersangka yakni konsultan perencanaan sekaligus pengawasa Halili dan Dwi Cahya Febriyanto sebagai pelaksana dalam kasus ambruknya proyek bangunan SDN 2 Samaran, KecamatanTambelangan.
“Setelah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan, kita telah menetapkan Dwi Cahya Febriyanto (29) asal Jalan Pemuda, Kelurahan Rongtengah dan Halili (50) asal Jalan Tenku Umar, Kelurahan Gunung Sekar dan langsung dijebloskan kedalam penjara, ” ungkap Kapolres Sampang AKBP Didit Bambang Wibowo Saputra, Selasa (25/2/2020).
Proyek rehabilitasi ruang kelas IV, V dan VI SDN Samaran 2 dianggarkan senilai Rp 149 juta dari Dana Alokasi Umum (DAU) 2017 yang dikerjakan oleh CV Hikmah Jaya.
“Sebagai pelaksana lapangan adalah tersangka Dwi Cahya Febriyanto mengerjakan proyek tersebut berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor : 425.16.41/18/Kontrak/434.201/VIII/2017 tanggal 14 Agustus. Sedangkan Halili sebagai konsultan pengawas,” paparnya.
Namun tambah Didit, bulan Mei 2019 hasil pekerjaan mengalami perubahan struktur pada atap melengkung. Sehingga bangunan ruang kelas IV dan V ambruk, untungnya tidak ada korban jiwa saat atap bangunan itu ambrol.
“Kita mendatangkan tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan, berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata beberapa pekerjan yang terpasang tidak sesuai dengan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dan gambar tehnis yang telah ditetapkan dalam kontrak, sehingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 133,5 juta,” terang mantan Kapolres Trenggalek itu.
Kemudian Didit menambahkan, melihat kondisi bangunan yang mengkhawatirkan Kepala Sekolah SDN Samaran 2 mengatisipasi dengan memindahkan siswa kelas IV dan V ke ruangan lain. Sehingga tidak menimbulkan korban pada saat bangunan atap sekolah itu ambruk.
“Dalam pengembangan kasus tersebut tidak menutup kemungkinan ada tersangka baru. Sedangkan kedua tersangka kita jerat dengan Pasal 2 Sub Pasal 3 Sub Pasal 7 Ayat (1) huruf a dan b UU. RI Nomor 30 tahun 1999 sebagaimana dirubah dalam UU. RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman minimal 6 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara,” pungkasnya. (tricahyo/her)