PETAJATIM.co, Sampang – Jeritan pilu nasib petani garam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang nyaris tak pernah didengar pemerintah. Hasil panen melimpah justru membuat petani malah semakin merugi, akibat harga garam dipasaran anjlok tak terkendali.
Entah siapa yang salah atau dipersalahkan. Mungkin karena regulasi dari penentu kebijakan yang tak berpihak terhadap petani garam rakyat, mungkin juga adanya dugaan praktik monopoli, oligarki dan kartel yang sulit di usut. Semua permasalahan nasib petani garam dari masa ke masa tak kunjung diatasi itu, bagaikan benang kusut yang tidak bisa diurai lagi.
Ketua Forum Petani Garam Madura (FPGM), Mohammad Yanto menuding biang kerok hancurnya harga garam rakyat ialah kouta impor yang tak sesuai dengan kebutuhan. Seharusnya impor tersebut digunakan untuk garam industri tapi malah masuk ranah garam konsumsi, sehingga memukul harga garam rakyat makin terjun bebas.
“Jadi harga garam hancur bukan karena Covid 19 tapi karena regulasi tata niaga garam yang dibuat pemerintah tak berpihak pada rakyat kecil. Oleh karena itu saya minta pemerintah melakukan evaluasi terkait kebutuhan garam impor, misalnya perusahaan pengolah garam biasanya mengajukan kepada Menteri Perindustrian, maka dirubah mengajukan kepada Gubernur, sehingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) dapat mengetahui kebutuhan garam di daerahnya termasuk regulasinya kemana,,” papar Yanto, Kamis (3/9/2020).
Ia pun menegaskan, Gubernur harus mempunyai kepekaan dengan tidak gampang mengeluarkan rekomendasi izin bongkar bagi kapal yang mengangkut garam impor di pelabuhan, hal itu untuk meredam persaingan tak sehat dengan garam rakyat.
“Bukannya kami anti impor silakan bagi perusahaan yang tidak bisa mengunakan garam rakyat. Tapi saat ini sudah kebablasan sehingga kondisi petani makin menjerit karena tidak bisa menghidupi anak istri, akibat harga garam yang kian terjepit,” ucap Yanto.
Praktik permainan klaster sudah menjadi rahasia umum bagi para petani yang ingin menjual garamnya kepada perusahaan besar, menurutnya akibat bargaining position (posisi tawar) petani sangat lemah, sehingga mereka tidak berdaya ketika garamnya dibeli dengan harga murah.
“Harga kualitas (KW)1 dipatok Rp 550/kg, KW2 sebesar Rp 500/kg dan KW3 Rp 400/kg. Ironisnya walaupun petani menjual garam dengan kualitas 1 saat dikirim ke pabrik garam, namun dibeli dengan harga KW3, sehingga keuntungan petani sangar tipis sekali. Jadi ini merupakan bentuk permainan klaster yang sudah lama dilakukan oleh sejumlah pabrik besar tersebut,” ungkapnya.
Dampak dari harga garam yang sangat murah tersebut, mengakibatkan 40 persen dari total lahan tambak garam yang mencapai 420 ribu hektare mulai tidak berproduksi. Fakta tersebut menunjukkan lambat laun petani mulai enggan mengolah lahan tambak garamnya, karena modal dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil panen yang di dapat.
“Saya berharap pihak legislatif baik itu DPRD Sampang, DPRD Jatim dan DPR pusat bersama-sama memperjuangkan nasib petani garam agar tidak menjadi bulan-bulanan para mafia garam yang selama ini mencekik leher petani,” tandasnya.
Sementara itu berdasarkan data PT Garam (persero) stok garam yang dihasilkan perusahaan plat merah itu mencapai 2,1 juta ton selama produksi 2020. Disisi lain produksi garam dari petani juga cukup melimpah yakni 2,9 juta ton ditambah serbuan dari garam impor sebanyak 3 juta ton.
Akibatnya persediaan garam secara nasional mengalami over stok yakni mencapai kisaran 8 juta ton, sedangkan kebutuhan secara nasional hanya 4,4 juta ton, maka menjadi pemicu terhadap harga garam menjadi anjlok. Namun sayangnya over stok garam tersebut tidak di imbangi dengan kebijakan penurunan kouta impor garam, untuk menekan stabilitas harga dipasaran.
Penulis/editor : Heru Ruham