petajatim.co, Jakarta -Ketahanan pangan (food security) merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan.
” Ketahanan pangan akan berhasil apabila pola pikir pemerintah bisa berubah,” ujar pengamat pangan dan pelaku usaha organik Wibisono,SH,MH kepada petajatim.co, di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Lanjutnya, sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu, karena ketahanan pangan salah satu ancaman perang modern.
“Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional,” terang Wibi.
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Saat ini pemerintah selalu import komoditi pangan, seperti beras, garam, kedelai, gandum,gula mentah, dan bahan- bahan pangan yang lain. Langkah pemerintah selalu dilakukan berulang-ulang selama ini.
“Pertanyaannya, siapa yang salah? kebijakan atau pola pikir menterinya yang salah?” tanya Wibi.
Jawabannya, kata Wibi, adalah keduanya salah, baik kebijakan ataupun pola pikirnya.
Menurutnya, pertama dalam kebijakan menerapkan “Redefinisi” Pupuk dalam pengelolaan tanah dan budidaya penanaman semua jenis tanaman pangan (terutama padi) yaitu harusnya 80% memakai pupuk hayati- pupuk organik/ dan kompos, 20% pupuk kimia terbatas, bukan sebaliknya, sehingga mengakibatkan tanah rusak atau tandus
Yang kedua adalah, penguatan community development dan yang ketiga adalah membangun platform ketahanan pangan untuk mendapatkan data base yang benar.
“Inilah yang harus dilakukan pemerintah agar ketahanan pangan bisa tercapai, terutama dalam mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan, ” tegas Wibi.
69 Persen Lahan Pertanian Rusak, Ketahanan Pangan Indonesia Terancam
Saat ini Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam mempertahankan kedaulatan pangan. Salah satu penyebab kegagalan itu karena faktor kerusakan tanah yang luas akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang tidak bijak atau berlebihan.
Merujuk pada data dari Tech-Cooperation Aspac FAO menyebutkan, sekitar 69 persen tanah pertanian di Indonesia dikategorikan sudah rusak parah (tandus) lantaran penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Dengan kondisi demikian, diramalkan ketahanan pangan (food security) hingga 2050 Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim.
” Namun justru masalah banjir, kekeringan, dan serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam masalah gagal pangan,” kata Wibi.
Wibi menambahkan, selama ini pemerintah pusat belum punya perencanaan yang matang. Misalnya kebutuhan beras 2 juta ton, maka seharusnya angka produksinya 2,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. “Kita belum sampai ke sana,” ujarnya.
Di samping itu, masalah lain faktor rendahnya sentuhan teknologi oleh petani lantaran minimnya ilmu pengetahuan. Misalnya, banyak petani yang tidak dapat mengukur power of hydrogen (PH) tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Selain itu, banyak pula petani yang tidak bisa memilih benih unggul.
Salah satu kendalanya masalah biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi, salah satu kontribusinya dari pembelian pupuk. Lihat saja datanya, biaya produksi beras Indonesia selama ini sebesar Rp 5.900 per kilogram. Bandingkan dengan biaya produksi beras di Vietnam yang sebesar Rp 2.300 per kilogram, Australia Rp 1.800 per kilogram, dan Amerika Serikat Rp 900 per kilogram.
Wibi khawatir, jika tidak ada terobosan dalam hal teknologi, Indonesia akan tetap jadi pengimpor beras abadi. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia itu menghidupi 246 juta jiwa penduduk Indonesia.
Oleh sebab itu, kata dia, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau soil amendment programme (program pembugaran tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah. Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia saja, sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan.
“Nenek moyang kita zaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intensif menggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen,” katanya.
Solusinya adalah menerapkan Redefinisi pupuk yang benar dan mengelola tanah dengan technologi pertanian yang modern seperti digital farming.
Saya sendiri mempunyai konsep ingin membangun peningkatan ketahanan pangan nasional dengan menjaga aspek-aspek strategis peningkatan ketahanan pangan.
“Caranya yakni membangun Platform Food Security dan membangun sistem pertanian modern ramah lingkungan dengan pemanfaatan Biofertilizer organik,” pungkas Wibisono.
(Jk)