petajatim.co, Jakarta – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengusulkan pada pemerintah agar membuat aturan khusus terkait mundurnya pimpinan KPK sebelum masa jabatan berakhir.
Hal itu mengacu pada langkah Saut Situmorang sebagai Wakil Ketua KPK yang mengundurkan diri meskipun masih empat bulan lagi menjabat.
“Sangat disayangkan kalau seperti itu tindakannya. Masa jabatan masih empat bulan lagi dia (Saut) mundur,” ujar Antasari kepada awak media di Jakarta, Sabtu (14/9).
Dikatakan Antasari, seharusnya ada regulasi yang mengatur bagi pimpinan KPK yang mengundurkan diri atas permintaan pribadi dengan memberikan ganti rugi pada negara. Kalau tidak ada ganti rugi bisa saja ketua KPK asal mundur seenaknya.
“Lagi-lagi KPK yang dikorbankan. Sebagai lembaga yang tugas utamanya memberantas korupsi harus punya aturan soal mundurnya pimpinan,” kata dia.
Ia mengingatkan seleksi pimpinan KPK pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan biaya seleksi bersumber dari APBN. Demikian masa pemerintahan Jokowi juga sama.
“Saya minta pemerintah bikin aturan, siapapun pimpinan KPK mundur harus ada ganti rugi pada negara,” ujarnya.
Tentang Revisi UU KPK
Rencana revisi Undang-undang (UU) KPK menuai reaksi pro kontra. Antasari Azhar ingin revisi UU bisa memperkuat lembaga antirasuah itu. Dia tidak ingin revisi UU KPK untuk memperlemah KPK.
“Ya nggak masalah selama untuk memperkuat, dalam artian menjaga integritas KPK,” kata Antasari.
Lanjut Antasari, adanya revisi UU KPK tidak perlu dikhawatirkan selama seluruh pihak berkomitmen mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Jika revisi UU KPK untuk memperlemah, DPR perlu mendapat masukan dari berbagai masyarakat.
“Nah untuk revisi tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama semua pihak berkomitmen bahwa korupsi extraordinary, jadi untuk apa kita khawatirkan. Kalau memang dari item revisi itu ada indikasi pelemahan tentu kita bisa bicarakan, bisa kita kasih masukan ke DPR,” ucap Antasari.
Selama menjabat Ketua KPK, Antasari mengaku pernah mengusulkan adanya revisi UU KPK agar pimpinan bisa berinovasi. Contohnya jika ada salah satu bidang yang tidak jalan bisa diubah melalui peraturan pemerintah (PP).
“Kalau dulu di era saya, jujur, saya pernah minta tapi dalam kondisi drafnya UU-nya, karena UU KPK saya lihat bahwa UU biasanya normatif membuat hal umum, secara teknis seperti nomenklatur diatur dengan PP. Undang Undang nomenklatur tidak ada di UU, makanya saya minta diubah waktu itu, supaya pimpinan KPK bisa berinovasi jika ada satu bidang tidak jalan mau ubah bisa melalui PP, usul kepada pemerintah lebih mudah ketimbang mengubah UU,” jelas dia.
Setelah menjabat Ketua KPK, Antasari mengaku pernah meminta usulan adanya Dewan Pengawas KPK agar pimpinan kerjanya dibantu. Contohnya, dari 500 laporan yang masuk, hanya 50 laporan yang ditindaklanjuti. Akan tetapi, hanya 10 laporan yang bisa masuk penyidikan.
“Nah yang 50 laporan penyelidikan yang masuk penyidikan berapa katakanlah 10, nah 40 nggak masuk penyidikan kenapa nah itu bisa diawasi. Artinya jangan sampai abuse, perkara bisa dilanjutkan, tetapi tidak bisa dilanjutkan jadi perlu ada dewan pengawas,” tutur dia.
Kesepakatan untuk merevisi UU KPK telah disetujui seluruh fraksi di DPR RI menjadi RUU inisiatif DPR. Persetujuan seluruh fraksi tersebut disampaikan dalam sidang paripurna DPR yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta
Pimpinan rapat, yakni Utut Adianto, awalnya meminta persetujuan seluruh fraksi terkait revisi UU MD3 dan UU KPK. Utut bertanya apakah pendapat setiap fraksi terkait revisi UU MD3 dan UU KPK dapat disampaikan secara tertulis ke pimpinan. Semua fraksi pun setuju. Akhirnya UU KPK disahkan.
( Jok )